“PERIHAL PERIKATAN DAN
SUMBER-SUMBERNYA”
Perkataan
“perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”,
sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang
timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal
perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
Adapun
yang dimaksudkan dengan “perikatan” ialah : suatu hubungan hukum (mengenai
kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini
diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak
berpiutang atau “kreditur”,sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan
dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat
dituntut dinamakan “prestasi” , yang menurut undang-undang dapat berupa:
- Menyerahkan suatu barang
- Melakukan suatu perbuatan
- Tidak melakukan suatu perbuatan
Mengenai
sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan
dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang.
Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas
perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari
undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi
lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang
diperbolehkan dan yang lahir dan perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
Apabila
seorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum ia
melakukan “wanprestasi” yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.
Dalam
hukum berlaku suatu azas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang
yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang yang tidak
memenuhi kewajibannya, harus meminta perantara Pengadilan.
Tetapi
sering terjadi bahwa si berhutang sendiri dari semula sudah memeberikan
persetujuannya,kalau ia samapai lalai, si berpiutang berhak melaksanakan
sendiri hak-haknya menurut perjanjian,dengan tak usah meminta perantara hakim. Ini
telah kita lihat dalam hal pandrecht. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh
seorang berpiutang dengan tidak melewati hakim,dinamakan “parate executie”. Orang
yang berhutang dengan memberikan tanggungan gadai sejak semula telah memberikan
izin kalau ia lalai, barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang untuk
pelunasan hutang dengan hasil penjualan itu. begitu juga halnya dengan seorang
pemberi hypotheek dengan ”beding van eigenmachtige verkoop”.
Jadi
pada umumnya,si berpiutang harus menempuh jalan menuntut si berhutang di depan
Pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu berupa membayar sejumlah uang,
memang si berpiutang sudah tertolong jika ia mendapat suatu putusan Pengadilan,
karena ia dapat minta dijalankannya putusan itu dengan menyita dan melelang
harta benda si berhutang.
Tetapi
jika untuk prestasi yang dikehendaki itu diperlukan persetujuan atau bantuan
pribadi dari si berhutang-yang enggan memberikan persetujuan atau bantuan
itu-si berpiutang masih menghadapi kesulitan. Misalnya,dalam hal si berhutang
harus memberikan hypotheek atau menyerahkan sebuah benda yang tak bergerak. Dalam
hal ini sebagai diketahui harus ada suatu akte pemberian hypotheek atau suatu
akte transport, yang dibuat di depan notaries, dengan bantuan si berhutang. Dalam
hal pemberian hypotheek, kesulitan tersebut dapat diatasi, karena undang-undang
mengizinkan pelaksanaan dengan pendaftaran putusan Pengadilan dalam
daftar-daftar hypotheek(lihat pasal 1171 ayat 3 B.W) tetapi ini merupakan suatu
kekecualian. Mengenai penyerahan sebuah benda yang tak bergerak,kesulitan masih
tetap ada selama tidak diadakan ketentuan seperti dalam hal pemberian hypotheek
tersebut, dan selama para hakim masih memegang teguh pendirian bahwa
persetujuan si berhutang (akte transport) tidak mungkin digantikan oleh suatu
putusan hakim.
Cara
melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim dikuasakan pada orang berpiutang
untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dinamakan “reele executie”. Dalam
B.W sendiri cara pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut :
1.
Dalam
hal perjanjian-perjanjian yang bertujun bahwa suatu pihak tidak akan melakukan
suatu perbuatan, misalnya tidak akan membuat suatu pagar tembok yang lebih
tinggi dari 3 meter, pihak yang lain dapat dikuasakan oleh hakim untuk membongkar
sendiri apa yang telah diperbuat dengan melanggar perjanjian itu( liaht pasal
1240).
2.
Dalam
hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang (yang juga dapat dibuat
oleh seorang lain, misalnya sautu garage), pihak yang berkepentingan dapat
dikuasakan oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain
membikinnya,atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang (lihat pasal 1241)
Jika
prestasi berupa menyerahkan suatu barang tertentu atau melakukan suatu
perbuatan yang sangat pribadi(membuat lukisan oleh seorang pelukis ternama)
pada umumnya tidaklah mungkin untuk mewujudkan prestasi itu dengan tiada
bantuan si berhutang, dan terpaksalah si berpiutang menerima suatu penggantian
kerugian berupa uang.
Dalam
B.W ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan”natuurlijke verbintenis”.
Secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan dengan
perikatan semacam itu. Satu-satunya pasal yang memakai perkataan tersebut ialah
pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan bahwa terhadap “natuurlijke
verbintenissen” yang secara suka rela dipenuhi (dibayar),tidaklah diperkenankan
untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata lain,apa yang
sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang, karena pembayran tersebut
dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak
diwajibkan,seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.
Berhubung
dengan tidak adanya suatu uraian yang tegas, timbulah pertanyaan tentang
pengertian apakah yang harus diberikan pada perkataan natuurlijke verbintenis
itu. Jawabnya,natuurlijke verbintenis ialah suatu perikatan yang berada di
tengha-tengah antara perikatan moral atau kepatutan dan sautu perikatan hukum,
atau boleh juga dikatakan suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Suatu perikatan
hukum yang sempurna selalu dapt ditagih dan dituntut pelaksanaanya di sepan
hakim. Tidak demikian halnya dengan suatu natuurlijke verbintenis suatu hutang
dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran tidak ada. Jadi tergantung
pada si berhutang apakah ia hendak memenuhinya atau tidak. Apakah ia hendak
menjadikannya duatu perikatan hukum biasa atau tidak. Apabila ia membayar
hutang itu,seolah-olah ia mengangkat natuurlijke verbintenis itu ke dalam
lingkungan hukum. Pada ketika perikatan itu dipenuhi, ia meningkat menjadi
suatu perikatan hukum biasa, tetapi ketika itu juga hapus karena pembayaran.
Jika
sudah terdapat kata sepakat, bahwa suatu natuurlijke verbintenis itu, adalah
suatu perikatan hukum (hanya tidak sempurna),maka konsekuensinya ia dapat
dibikin sempurna. Misalnya dengan jalan pembaharuan hutang(novatie) atau dengan
mengadakan penanggungan hutang(borgtocht). Kecuali jika undang-undang
melarangnya,sebagaimana terdapat dalam apsal 1790 B.W yang melarang untuk
membaharui suatu hutang yang terjadi karena perjudian.
Bahwa
perikatan-perikatan tersebut dibawah ini semuanya termasuk dalam golongan
natuurlijke verbintenis,boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat umum :
1.
Hutang-hutang
yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk dituntut
pembayaran
2.
Pembayaran
bunga dalam hal pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika si
berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tidak dapat
memintanya kembali,kecuali jika apa yang telah dibayarkan itu melampaui bunga
menurut undang-undang(6prosen)
3.
Sisa
hutang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian
(Accord).
www.gunadarma.ac.id
sumber:
diktat kuliah "ASPEK HUKUM DALAM BISNIS" NELTJE F.KATUUK , BAB 4(HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN),HAL 106-109.