Rabu, 02 Mei 2012

HUKUM PERIKATAN


“PERIHAL PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA”

Perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).

Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan” ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”,sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” , yang menurut undang-undang dapat berupa:
  1.  Menyerahkan suatu barang
  2.  Melakukan suatu perbuatan
  3. Tidak melakukan suatu perbuatan
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dan perbuatan yang berlawanan dengan hukum.

Apabila seorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum ia melakukan “wanprestasi” yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.

Dalam hukum berlaku suatu azas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantara Pengadilan.

Tetapi sering terjadi bahwa si berhutang sendiri dari semula sudah memeberikan persetujuannya,kalau ia samapai lalai, si berpiutang berhak melaksanakan sendiri hak-haknya menurut perjanjian,dengan tak usah meminta perantara hakim. Ini telah kita lihat dalam hal pandrecht. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh seorang berpiutang dengan tidak melewati hakim,dinamakan “parate executie”. Orang yang berhutang dengan memberikan tanggungan gadai sejak semula telah memberikan izin kalau ia lalai, barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang untuk pelunasan hutang dengan hasil penjualan itu. begitu juga halnya dengan seorang pemberi hypotheek dengan ”beding van eigenmachtige verkoop”.

Jadi pada umumnya,si berpiutang harus menempuh jalan menuntut si berhutang di depan Pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu berupa membayar sejumlah uang, memang si berpiutang sudah tertolong jika ia mendapat suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat minta dijalankannya putusan itu dengan menyita dan melelang harta benda si berhutang.

Tetapi jika untuk prestasi yang dikehendaki itu diperlukan persetujuan atau bantuan pribadi dari si berhutang-yang enggan memberikan persetujuan atau bantuan itu-si berpiutang masih menghadapi kesulitan. Misalnya,dalam hal si berhutang harus memberikan hypotheek atau menyerahkan sebuah benda yang tak bergerak. Dalam hal ini sebagai diketahui harus ada suatu akte pemberian hypotheek atau suatu akte transport, yang dibuat di depan notaries, dengan bantuan si berhutang. Dalam hal pemberian hypotheek, kesulitan tersebut dapat diatasi, karena undang-undang mengizinkan pelaksanaan dengan pendaftaran putusan Pengadilan dalam daftar-daftar hypotheek(lihat pasal 1171 ayat 3 B.W) tetapi ini merupakan suatu kekecualian. Mengenai penyerahan sebuah benda yang tak bergerak,kesulitan masih tetap ada selama tidak diadakan ketentuan seperti dalam hal pemberian hypotheek tersebut, dan selama para hakim masih memegang teguh pendirian bahwa persetujuan si berhutang (akte transport) tidak mungkin digantikan oleh suatu putusan hakim.

Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim dikuasakan pada orang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dinamakan “reele executie”. Dalam B.W sendiri cara pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut :

1.    Dalam hal perjanjian-perjanjian yang bertujun bahwa suatu pihak tidak akan melakukan suatu perbuatan, misalnya tidak akan membuat suatu pagar tembok yang lebih tinggi dari 3 meter, pihak yang lain dapat dikuasakan oleh hakim untuk membongkar sendiri apa yang telah diperbuat dengan melanggar perjanjian itu( liaht pasal 1240).

2.    Dalam hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang (yang juga dapat dibuat oleh seorang lain, misalnya sautu garage), pihak yang berkepentingan dapat dikuasakan oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya,atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang (lihat pasal 1241)

Jika prestasi berupa menyerahkan suatu barang tertentu atau melakukan suatu perbuatan yang sangat pribadi(membuat lukisan oleh seorang pelukis ternama) pada umumnya tidaklah mungkin untuk mewujudkan prestasi itu dengan tiada bantuan si berhutang, dan terpaksalah si berpiutang menerima suatu penggantian kerugian berupa uang.

Dalam B.W ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan”natuurlijke verbintenis”. Secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan dengan perikatan semacam itu. Satu-satunya pasal yang memakai perkataan tersebut ialah pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan bahwa terhadap “natuurlijke verbintenissen” yang secara suka rela dipenuhi (dibayar),tidaklah diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata lain,apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang, karena pembayran tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak diwajibkan,seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.

Berhubung dengan tidak adanya suatu uraian yang tegas, timbulah pertanyaan tentang pengertian apakah yang harus diberikan pada perkataan natuurlijke verbintenis itu. Jawabnya,natuurlijke verbintenis ialah suatu perikatan yang berada di tengha-tengah antara perikatan moral atau kepatutan dan sautu perikatan hukum, atau boleh juga dikatakan suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Suatu perikatan hukum yang sempurna selalu dapt ditagih dan dituntut pelaksanaanya di sepan hakim. Tidak demikian halnya dengan suatu natuurlijke verbintenis suatu hutang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran tidak ada. Jadi tergantung pada si berhutang apakah ia hendak memenuhinya atau tidak. Apakah ia hendak menjadikannya duatu perikatan hukum biasa atau tidak. Apabila ia membayar hutang itu,seolah-olah ia mengangkat natuurlijke verbintenis itu ke dalam lingkungan hukum. Pada ketika perikatan itu dipenuhi, ia meningkat menjadi suatu perikatan hukum biasa, tetapi ketika itu juga hapus karena pembayaran.

Jika sudah terdapat kata sepakat, bahwa suatu natuurlijke verbintenis itu, adalah suatu perikatan hukum (hanya tidak sempurna),maka konsekuensinya ia dapat dibikin sempurna. Misalnya dengan jalan pembaharuan hutang(novatie) atau dengan mengadakan penanggungan hutang(borgtocht). Kecuali jika undang-undang melarangnya,sebagaimana terdapat dalam apsal 1790 B.W yang melarang untuk membaharui suatu hutang yang terjadi karena perjudian.

Bahwa perikatan-perikatan tersebut dibawah ini semuanya termasuk dalam golongan natuurlijke verbintenis,boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat umum :

1.    Hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk dituntut pembayaran
2.    Pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tidak dapat memintanya kembali,kecuali jika apa yang telah dibayarkan itu melampaui bunga menurut undang-undang(6prosen)
3.    Sisa hutang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian (Accord).

www.gunadarma.ac.id

sumber:
diktat kuliah "ASPEK HUKUM DALAM BISNIS" NELTJE F.KATUUK , BAB 4(HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN),HAL 106-109.





Selasa, 01 Mei 2012

OBYEK HUKUM

OBYEK HUKUM 

Obyek Hukum adalah segala sesuatu yang berada di dalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan hak/kewajiban yang dimilikinya atas obyek hukum yang bersangkutan. Jadi obyek hukum itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum.

Misalnya segala macam benda, hak atas sesuatu dan sebagainya , yang cara peralihannya berdasarkan hukum (umpamanya berdasarkan jual beli sewa menyewa waris mewaris , perjanjian dan sebagainya).

Sebagai obyek hukum yaitu segala sesuatu yang berada dalam pengaturan hukum, hal ini memang perlu ditegaskan berhubung karena disamping segala sesuatu yang manfaatnya harus diperoleh dengan jalan hukum, ada pula sesuatu yang manfaatnya dapat diperoleh tanpa perlu atau tanpa berdasarkan hukum, yaitu sesuatu yang dapat diperoleh secara bebas dari alam (misalnya benda non ekonomi) seperti :
  • angin 
  • cahaya matahari
  • bulan
  • hujan
  • air
  • pegunungan
yang pemanfaatannya tidak diatur oleh hukum. hal-hal tersebut tidak termasuk sebagai obyek hukum karena tidak memerlukan pengorbanan.





www.gunadarma.ac.id

sumber :
diktat kuliah "Aspek Hukum dalam Bisnis", NELTJE F.KATUUK,  bab 2 "Hukum Perdata (Subyek dan Obyek Hukum )" hal 51-52

SUBJEK HUKUM

SUBJEK HUKUM

1. Orang sebagai Subjek Hukum 

Subjek Hukum  ialah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian Subjek Hukum ialah manusia atau orang(naturlijke person) dan badan hukum (vichtperson) misalnya PT,PN,Koperasi dan yang lain. Dulu masih ada budak belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja. Budaya kita sekarang sudah demikian majunya sehingga suatu perikatan pekerjaan yang dapat dipaksakan tidak diperkenankan lagi di dalam lalu lintas hukum.
Seseorang yang tidak suka melakukan suatu pekerjaan yang ia harus lakukan menurut perjanjian, tidak dapat secara langsung dipaksa untuk melakukan pekerjaan itu. Paling tidak ia hanya akan dihukum untuk membayar kerugian dalam bentuk uang, ataupun harta bwendanya, dapat disita sebagai tanggungan atas kewajibannya. karena hal ini sudah merupakan suatu azas dalam Hukum Perdata.

Perihal kematian perdata yang bunyinya : jo UUDS th 1950 pasal 15. Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak kewargaan.
Hanyalah  mungkin seorang terhukum dicabut hak-haknya , contohnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan bersenjata dan sebagainya. 

Suatu hukuman yang mirip dengan kematian perdata ialah sandera (Gijzeling) yaitu penahanan yang dikenakan terhadap seorang debitur (berhutang) yang lalai atau yang sengaja tidak mau memenuhi kewajibannya membayar hutangnya atau terhadap seseorang yang diduga keras akan mengasingkan barang-barang yang menjadi tanggungan / jaminan atas hutangnya.

Mengenai sandera ini Undang-undang bersikap banci, yaitu ada peraturan Undang-undang yang membenarkan sandera seperti dapat kita lihat dalam pasal 209 ayat 1 RIB/HIR dan Undang-undang no 49/1960 (PUPN boleh melakukan sandera terhadap orang yang tidak mau menbayar kembali hutangnya pada negara). Sedangkan Undang-undang yang lainnya tidak membenarkan sandera seperti SEMA no 2/1964 (tentang penghapusan sandera) dan Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman n0 14 tahun 1970 (Hakim harus mengindahkan perikemanusiaan dan perikeadilan dalam menjalankan keputusannya, pasal 33 ayat 4).
Juga orang yang dinyatakan pailit oleh pengadilan, ia kehilangan hak untuk berbuat bebas atas barang-barangnya yang diletakkan dibawah pengawasan pengadilan, barang-barang mana menjadi tanggungan hutang-hutangnya. 

Seseorang yang dinyatakan pailit kehilangan hak untuk berbuat bebas atas harta kekayaannya. Ini berarti ia tidak dibenarkan untuk mengasingkan (menjual, menukarkan, menghibahkan, atau mewariskan harta kekayaannya).

Berlakunya seseorang sebagai subjek hukum (pembawa hak) yaitu pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat orang tersebut meninggal.

Bahkan bila perlu demi untuk kepentingannya sebagai subjek hukum (pembawa Hak) dapat dihitung Surut yaitu dimulai waktu masih berada dalam kandungan , akan tetapi pada saat dilahirkan orang tersebut dalam keadaan hidup.

Hal ini tentunya akan merupakan tanda tanya, mengapa ini penting untuk dibicarakan. Adapun kegunaannya yaitu sehubungan dengan perihal warisan yang terbuka ketika seseorang tersebut masih berada dalam kandungan ibunya.

Perihal tiap-tiap orang dapat memiliki hak-hak menurut hukum tanpa kecuali, hal inni adalah benar, namun di dalam hukum tidak semua orang diperkenankan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya tersebut.

Ada beberapa golongan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cukup untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum itu. Mereka itu adalah :

  • Orang-orang yang belum dewasa atau masih dibawah umur  
Oleh KUHP (BW) yang dimaksud dengan orang yang belum dewasa (masih dibawah umur) ialah apabila seseorang belum mencapai 211 tahun. Kecuali bagi seseorang yang walaupun belum berusia 21 tahun tapi telah kawin (menikah) maka ia dianggap dewasa dan dapt melakukan sendiri perbuatan hukum itu. Hanya dengan catatan apabila sebelum berusia 21 tahun ia bercerai, maka ia dianggap orang yang masih dibawah umur lagi. 

Dan bagi wanita yang telah menikah,menurut KUHP (BW) pada umumnya tidak diperkenankan bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum , tetapi ia harus dibantu oleh suaminya. 

Dan oleh BW, wanita bersuami ini dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum. Disamping itu ada beberapa pasal dalam KUHP (BW) yang memperbedakan antara kecakapan orang lelaki dan wanita.
  1. Wanita dapat kawin jika ia telah berusia 15 tahun dan pria 18 tahun.
  2. Wanita tidak diperbolehkan kawin sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya diputuskan, sedang untuk pria tidak ada larangan.
  3. Seorang pria baru dapat mengakui anaknya bila ia telah berusia paling minim 19 tahun sedang wanita tidak ada batasan usia.
 
  • Orang-orang yang ditaruh dibawah pengawasan (curatele) yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya , walinya atau kuratornya.
Di atas telah disebutkan bahwa disamping orang sebagai subyek hukum (pembawa hak), badan-badan hukum juga dapat memiliki hak-hak dan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia.
 
Karena badan-badan hukum dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri. Dan ikut sertanya badan hukum dan perkumpulan itu yaitu melalui perantara pengurusnya.
 
Berarti badan-badan hukum dan perkumpulan itu dapat digugat dan menggugat dimuka hakim melalui pengurus tersebut.
 
Mengenai domisili (tempat tinggal), setiap orang akan menurut hukum harus memilikinya sebagai tempat kedudukan tertentu.
 
Hal ini perlu antara lain : 
  • Bila seseorang akan kawin (menikah), tempat tinggal (domisilinya) jelas.
  • Begitu juga bila seseorang di panggil di pengadilan oleh suatu urusan.
  • Dan untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa mengadili seseorang sesuai dengan tempat tinggalnya. Misalnya si A bertempat tinggal di Jakarta Pusat, maka yang berhak mengadili adalah Pengadilan Jakarta Pusat.


  www.gunadarma.ac.id
 
Sumber :
 Diktat Kuliah , "Aspek Hukum dalam Bisnis , NELTJE F.KATUUK, BAB 2 HUKUM PERDATA (SUBYEK DAN OBYEK HUKUM) HAL. 48-51
 

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Sistematika Hukum Perdata kita (BW) ada dua pendapat.Pendapat yang pertama yaitu,dari pemberlaku Undang-Undang berisi :
Buku I  : Berisi mengenai orang. di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku II   :  Berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Buku III : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak tertentu.
Buku IV :  Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalmnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu. 

Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu :
  
I . Hukum tentang diri seseorang (pribadi) 

Mengatur tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

II . Hukum Kekeluargaan 

Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu :
  • Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
III . Hukum Kekayaan

Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. 
Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksud ialah jumlah dari segala hak dari kewajiban orang itu dinilaikan dengan uang. 

Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya dinamakan Hak Mutlak dan hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.

Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang apat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. 

Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat. 
  • Hak seorang pengarang atas karangannya
  • Hak seseorang atas suatu pendapat dalama lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk , dinamakan hak mutlak saja. 
IV . Hukum Warisan

Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu Hukum Warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. 



www.gunadarma.ac.id

sumber : diktat kuliah "aspek hukum dalam bisnis" NELTJE F.KATUUK Bab 2 Hukum Perdata,  hal. 45-46