Kamis, 21 Juni 2012
Sabtu, 16 Juni 2012
RESEP PUDING TIRAMISU
RESEP PUDING TIRAMISU
Bahan-bahan dan cara membuatnya adalah sebagai berikut.
Bahan:
- 50 g gula pasir
- 1 butir telur ayam
- 1 sdm mentega, lelehkan
- 200 ml susu segar
- 100 ml krim segar
- ½ sdt vanili bubuk
- ½ sdm tepung maizena, larutkan dengan sedikit air
- 2 lembar roti tawar tanpa kulit, potong-potong
- 1 sdm kismis
Topping:
- 1 sdt gula bubuk
- 2 buah strawberry, belah-belah
Cara Membuatnya:
Bahan:
- 50 g gula pasir
- 1 butir telur ayam
- 1 sdm mentega, lelehkan
- 200 ml susu segar
- 100 ml krim segar
- ½ sdt vanili bubuk
- ½ sdm tepung maizena, larutkan dengan sedikit air
- 2 lembar roti tawar tanpa kulit, potong-potong
- 1 sdm kismis
Topping:
- 1 sdt gula bubuk
- 2 buah strawberry, belah-belah
Cara Membuatnya:
- Kocok gula dan telur hingga gula larut.
- Tambahkan mentega, susu, krim dan vanili.
- Masukkan larutan maizena. Aduk rata.
- Susun potongan roti tawar dan kismis dalam 2 mangkuk tahan panas.
- Tuangi larutan susu.
- Panggang dalam oven panas 180 C selama 30 menit.
- Angkat. Sajikan dengan Toppingnya.
SUMBER :
http://www.anekapuding.com/2012/04/resep-puding-tiramisu.html
Selasa, 05 Juni 2012
CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
CARA-CARA HAPUSNYA SUATU
PERIKATAN
Pasal
1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu
perikatan. Cara-cara tersebut :
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan penitipan
3. Pembaharuan hutang
4. Perjumpaan hutang atau kompensasi
5. Percampuran hutang
6. Pembebasan Hutang
7. Musnahnya barang yang terhutang
8. Kebatalan/pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal dan
10. Lewatnya waktu
Cara-cara
hapusnya perikatan itu akan dibicarakan satu persatu di bawah ini.
1.
PEMBAYARAN
Nama”pembayaran” dimaksudkan setiap
pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak
saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjual pun
dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya.
Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga
seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal
1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi
juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang
pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang,
atau jika ia bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak
si berpiutang.
Pembayaran harus dilakukan kepada si
berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juag
kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh Undang-undang untuk menerima
pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada
seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang adalah sah, sekedar si
berpiutang telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat manfaat
karenanya.
Si debitur tidak boleh memaksa
krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagian,meskipun
hutang itu dapat dibagi-bagi.
Mengenai tempatnya pembayaran, pasal
1933 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menerangkan sebagai berikut :
“Pembayaran harus dilakukan di tempat
yang ditetapkan dalam perjanjian,jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu
tempat,maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu,harus dilakukan di
tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.
Di luar kedua hal tersebut, pembayaran
harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang,selama orang itu terus menerus
berdiam dalam keresidenan di mana ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian, dan
di dalam hal-hal lainnya di tempat tinggalnya si berhutang”.
Ketentuan dalam ayat pertama yang
menunjuk pada tempat di mana barang berada sewaktu perjanjian ditutup adalah,
sama dengan ketentuan dalam pasal 1477 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam
jual beli , dimana juga tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat dimana barang
yang dijual harus diserahkan. Memang sebagai mana sudah diterangkan
“pembayaran” dalam arti yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh
si penjual yang terdiri atas penyerahan barang yang telah diperjual belikan.
Ketentuan dalam ayat kedua, berlaku
juga dalam pembayaran-pembayaran di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang
tertentu, jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan, teristimewa ketentuan
tersebut adalah penting untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka
hutang-hutang yang berupa uang pada azasnya harus dibayar di tempat tinggal
kreditur,dengan perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang
yang menurut undang-undang harus dipungut di tempat tinggalnya debitur hanyalah
hutang wesel.
Sesuai dengan ketentuan tersebut di
atas maka oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk
menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur.
Suatu masalah yang muncul dalam soal
pembayaran, adalah masalah subrogasi atau penggantian hak-hak si
berpiutang(kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada si berpiutang
itu. Dalam subrogasi atau penggantian ini, seorang ketiga yang membayar suatu
utang menggantikan kedudukan si kreditur ,terhadap si debitur. Subrogasi atau
penggantian tersebut di atas dapat terjadi baik dengan perjanjian, baik demi
undang-undang.
Dari apa yang telah dibicarakan di
atas, dapat dilihat bahwa jika seorang membayar hutangnya orang lain, maka pada
umumnya tidak terjadi subrogasi, artinya : pada umumnya orang yang membayar itu
tidak menggantikan kreditur. Hanya apabila itu dijanjikan atau dalam hal-hal di
mana itu ditentukan oleh undang-undang , maka barulah ada penggantian.
2.
PENAWARAN PEMBAYARAN TUNAI DIIKUTI
PENYIMPANAN ATAU PENITIPAN
Ini
adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang
(kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut: barang atau uang yang
akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang
juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari
barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau
tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah
debitur datang untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana akan
dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah
diperinci itu. Notaries atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses
verbal. Apabila kreditur suka
menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara
pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat
diduga maka notaries atau juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani
proses verbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya
maka hal itu akan dicatat oleh notaries atau juru sita di atas surat proses
verbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si
berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya ialah : si
berhutang (debitur) di muka pengadilan negeri dengan permohonan kepada
pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah
dilakukan itu. setelah penawaran disimpankan atau dititipkan kepada panitera
pengadilan negeri dengan demikian hapuslah hutang piutang itu. Barang atau uang
tersebut di atas berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas
tanggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya.
Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai
dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
3.
PEMBAHARUAN HUTANG ATAU NOVASI
Menurut
pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :
a. Apabila seorang yang berhutang membuat
suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang
menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b. Apabila seorang berhutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang
dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila sebagai akibat dari suatu
perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang
lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
Novasi
yang disebutkan pada (A) , dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui
adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (C)
dinamakan novasi subyektif , karena yang diperbaharui di situ adalah
subyekti-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti
debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila
yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif.
4.
PERJUMPAAN HUTANG ATAU KOMPENSASI
Ini
adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan hutang piutang secara tertimbal balik antara kreditur dan
debitur.
Jika
dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu
perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan,demikianlah
diterangkan oleh pasal 1424 Kitab undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut
selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan
setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu
menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama
ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar supaya dua hutang dapat
diperjumpakan,maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan
besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
Perjumpaan
terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang-pihutang antara kedua
belah pihak itu telah dilahirkan, terkecuali :
a.
Apabila
dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum
dirampas dari pemiliknya.
b.
Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
c.
Terdapat
sesuatu barang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita (alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan
perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas, maka itu akan berarti
mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Maka dari itu
pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang
disebutkan itu.
5. PERCAMPURANG
HUTANG
Apabila kedudukan sebagai orang
berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) berkumpul pada satu
orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang
puiutang itu diapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk
sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang pihutang dalam hal
percampuran ini, adalah betul-betul “demi-hukum” dalm arti otomatis.
Percampuran hutang yang terjadi pada
dirinya si berhutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung
hutangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung
hutang(borg) tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
6.
PEMBEBASAN HUTANG
Teranglah, bahwa
apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi pretasi
dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan
perjanjian, maka perikatan-yaitu hubungan hutang-piutang hapus, perikatan ini
hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan
tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian sepucuk
tanda piutang asli secara suka rela oleh si berpihutang kepada si berhutang,
merupakan suatu bukti tentang pembebasan hutangnya, bahkan terhadap orang-orang
lain yang turut berhutang secara tanggung menanggung. Pengembalian barang yang
akan diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidaklah perlu diterangkan,
sebab perjanjian gadai (pand) adalah suatu perjanjian accessoir yang artinya
suatu buntut belaka dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam uang.
7. MUSNAHNYA
BARANG YANG TERHUTANG
Jika barang tertentu yang menjadi
objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang
sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si
berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu
lalai menyerahkan barang itu (terlambat),iapun akan bebas dari perikatan
apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu
kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib
yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.
Apabila si berhutang , dengan
terjadinya peristiwa-peristiwa seperti di atas telah dibebaskan dari
perikatannya terhadap krediturnya , maka ia diwajibkan menyerahkan kepada
kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya terhadap orang-orang
pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.
8. KEBATALAN/PEMBATALAN
Meskipun disini disebutkan kebatalan
dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau
kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ,ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu
kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka
tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu
yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang
sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dihapus.
Yang diatur oleh pasal 1446 dan
selanjutnya adalah pembatalan perjanijan-perjanjian yang dapat dimintakan
pembatalan (vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada
waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah
(Pasal 1320)
Meminta pembatalan perjanjian yang
kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: pertama
,secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim.
Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk
memenuhi perjanjian dan sisitulah baru memajukan tentang kekurangannya
perjanjian itu.
9. BERLAKUNYA
SUATU SYARAT-BATAL
Perikatan bersyarat itu adalah suatu
perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu akan terjadi,baik secara menangguhkan lahirnya
perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan
menurut terjadi tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan
dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang
kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan
apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir
itu dinamakan suatu perikatan denagn suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada azasnya
syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu
syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan
perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah
tidak pernah ada suatu perjanjian,demikianlah pasal 1265 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang
untuk mengembalikan apa yang telah
diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
10. LEWATNYA WAKTU
Menurut pasal 1946 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu”ialah suatu upaya
untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan
daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu
perikatan (Atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”. Daluwarsa dari
macam yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda.
Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan di sini meskipun
masalah daluwarasa itu suatu masalah yang memerlukan pembicaraan tersendiri.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masalah daluwarsa itu diatur dalam Buku
IV bersama-sama dengans oal pembuktian.
Menurut pasal 1967 maka segala
tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan
, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun,sedangkan siapa yang
menunjukan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak,
lagi pula tak dapat dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan
kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di atas
hapuslah setiaap perikatan hukum dan tinggal pada suatu “perikatan bebas”
(natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayarkan boleh tetapi tidak dapat
dituntut di muka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut di muka
pengadilan dapat memajukan tangkisan (eksepsi)tentang kadaluwarsanya piutang
dan dengan demikian mengelakkan atau menangkis setiap tuntutan.
sumber:
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf
www.gunadarma.ac.id
WANPRESTASI
WANPRESTASI
Apabila
si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya,
maka dikatakan bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai”
atau “cidera janji”. Atau juga ia “melanggar perjanjian”, yaitu apabila ia
melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, Perkataan
“wanprestasi” berasal dari bahasa belanda , yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi
seorang debitur dapat berupa empat macam :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya
b. Melaksanakan apa yang
dijanjikannya,tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikannya
tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya
Terhadap
kelalaian atau kealpaan si berhutang itu (atau pihak yang wajib melakukan
sesuatu),diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman
atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi ada empat macam
yaitu :
a. Membayar kerugian yang diderita oleh
kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
b. Pembatalan perjanjian atau juag
dinamakan “pemecahan”perjanjian
c. Peralihan risiko
d. Membayar biaya perkara, kalu sampai
diperkarakan di muka hakim
Karena
wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting , maka harus ditetapkan
lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau
hal itu disangkal olehnya,harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga
tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali
juga tidak diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan
prestasi yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan
kapan barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli , atau kapan si pembeli
ini harus membayar uang harga barang tadi.
Mengenai
perjanjian-perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu
perbuatan, maka jika dalam perjanjian tidak ditetapkan bahwa si berhutang akan
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan,pelaksanaan prestasi harus
lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur
menghendaki pelaksanaan perjanjian.
Tentang
bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur agar jika ia tidak memenuhi
teguran itu, dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh pasal 1238 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata , yang berbunyi : “ si berhutang adalah lalai
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan
bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”.
Yang
dimaksudkan dengan surat perintah itu ialah suatu peringatan resmi yaitu
peringatan oleh seorang jurusita Pengadilan. Perkataan “akte sejenis itu” yang
sebenarnya oleh Undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis,
sekarang sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang
juga boleh dilakukan secara lisan,asal cukup tegas menyatakan desakan si
berpiutang supaya prestasi dilakukan denganseketika atau dalam waktu yang
singkat. Hanya tentu saja sebaiknya dilakukan dengan tertulis, dan seyogyanya
dengan surat tercata, agar nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si
berhutang.
Apabila
seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya,
maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai
atau alpa dan terhadap dia dapat diberlakukan sanksi-sanksi yaitu
ganti-rugi,pembatalan perjanjian dan peralihan risiko.
Ganti-rugi
sering diperinci dalam tiga unsur:
·
Biaya
·
Rugi
·
Dan
bunga (dalam bahasa belanda”konsten,schaden en interessen”)
Yang
dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian
karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena
kelalaian si debitur. Dan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang
berupa kehilangan keuntunga(bahsa belanda”winstderving”), yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Code
civil (dalam bahasa Perancis) memerinci ganti-rugi itu dalam dua unsur yaitu
“dommages et interest” . “Dommages” meliputi apa yang kita namakan “biaya dan
rugi” sebagaimana dibicarakan di atas, sedangkan “interest” adalah sama dengan
“bunga” dalam arti kehilangan keuntungan.
Dalam
soal penuntutan ganti-rugi oleh Undang-Undang diberikan ketentuan-ketentuan
tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti-rugi tersebut. Boleh dikatakan,
ketentuan tersebut merupakan pemabatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai
ganti-rugi. Dengan demikian seorang debitur yang alapa atau lalai,masih juga
diperlindungi oleh Undang-undang terhadap kesewenangan si kreditur.
Pasal
1247 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menetukan : “ Siberhutang hanya
diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nayat telah, atau sedianya harus
dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya
perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu-daya yang dilakukan olehnya”.
Pasal
1248 juga menyebutkan : “ Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu
diesebabkan karena tipu-daya si berhutang, penggantian biaya, rugi dan
bunga,sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan
yang terhilang baginya,hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung
dari terpenuhinya perjanjian”.
Suatu
pembatasan lagi dalam pembayaran ganti-rugi trdapat dalam peraturan
mengenai”bunga moratoir”. Apabila prestasi itu berupa membayar sejumlah
uang,maka kerugian yang diderita oleh kreditur , apabila pembayaran itu
terlambat, adalah berupa interest, rente atau “bunga”. Perkataan “moratoir”
berasal dari perkataan Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi,
bunga moratoir berarti bunga yang ahrus dibayar (sebagai hukuman)karena debitur
itu alapa atau lalai membayar hutangnya. Oleh suatu Undang-undang yang dimuat
dalam Lembaran Negara tahun 1848 No.22 bunga tersebut ditetapkan 6(enam) prosen
setahun, dan menurut pasal 1250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,selainnya
bahwa bunga yang dapat dituntut itu tidak boleh melebihi prosenan yang
ditetapkan dalam undang-undang tersebut, juga ditentukan bahawa bunga tersebut
baru dihitung sejak dituntutnya kepada Pengadilan, jadi sejak dimasukkannya
surat gugat.
Mengenai
pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian sebagai sanksi
kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak dapat
melihat sifatnya pembatalan atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman.
Dikiranya si debitur malahan merasa lega dengan dibatalkannya perjanjian karena
ia dibebaskan dari kewajibannya melakukan prestasi. Memang ada kalanya
pembebasan itu dirasakan sebagai suatu pembebasan, tetapi betapa beratnya
pembatalan itu dirasakan dapat dibayangkan jika kita memikirkan nasibnya
seorang penjahit yang mendapat pesanan untuk membikin pakaian seragam batalyon
prajurit,kalau kontraknya dibatalkan pada waktu ia sudah memotongi bahan
pakaian berates-ratus meter.
Pembatalan
perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah menerima sesuatu dari piahk lain,
baik uang maupun barang,maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian
karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur ini,dalam Kitab
undang-undang Hukum Perdata menemukan pengaturannya dalam pasal 1266, ialah
pasal yang terdapat dalam bagian kelima dari bab I dati Buku III, ialah suatu
bagian yang mengatur tentang “perikatan bersyarat”.
Kelalaian
atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu
perjanjian seperti halnya dengan suatu “syarat batal”. Dalam pasal1266 juga
terdapat lanjutan sebagai berikut : “Syarat batal dianggap selamanya
dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik manakala salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak
batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Dalam
halnya perjanjian dibatalkan, maka kedua belah pihak dibawa dalam keadaan
sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut
samapai pada detik dilahirkannya perjanjian. Apa yang sudah terlanjur diterima
oleh satu pihak harus dikembalikan kepada pihak lainnya.
Peralihan
risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam
pasal 1237 ayat 2 Kitab Udnag-undang Hukum Perdata. Risiko adalah kewajiban
untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah
satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian.
Menurut
pasal 1460 Kitab Undang-undang Hukum Perdata , maka risiko dalam jual-beli
barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum
diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat meneyerahkan barangnya, maka
kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dan si pembeli kepada
penjahat.
Tentang
pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur
yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang
dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (pasal 181 ayat 1 H.I.R). seorang
debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di
muka Hukum.
Menurut
pasal 1267,pihak kreditur dapat menuntut terhadap si debitur yang lalai itu :
pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian baiya, rugi dan bunga
(disingkat “ganti-rugi”). Dengan sendirinya ia juag dapat menentukan pemenuhan
perjanjian disertai ganti-rugi.
Sebagai
kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara
tuntutan-tuntutan sebagai berikut :
1. Pemenuhan perjanjian
2. Pemenuhan perjanjian disertai
ganti-rugi
3. Ganti-rugi saja
4. Pembatalan perjanjian
5. Pembatalan disertai ganti-rugi
sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf
www.gunadarma.ac.id