Kamis, 21 Juni 2012

Sabtu, 16 Juni 2012

RESEP PUDING TIRAMISU

RESEP PUDING TIRAMISU



Bahan-bahan dan cara membuatnya adalah sebagai berikut.
 

Bahan:

- 50 g gula pasir
- 1 butir telur ayam
- 1 sdm mentega, lelehkan
- 200 ml susu segar
- 100 ml krim segar
- ½ sdt vanili bubuk
- ½ sdm tepung maizena, larutkan dengan sedikit air
- 2 lembar roti tawar tanpa kulit, potong-potong
- 1 sdm kismis


Topping:

- 1 sdt gula bubuk
- 2 buah strawberry, belah-belah

Cara Membuatnya:

  1. Kocok gula dan telur hingga gula larut.
  2. Tambahkan mentega, susu, krim dan vanili.
  3. Masukkan larutan maizena. Aduk rata.
  4. Susun potongan roti tawar dan kismis dalam 2 mangkuk tahan panas.
  5. Tuangi larutan susu.
  6. Panggang dalam oven panas 180 C selama 30 menit.
  7. Angkat. Sajikan dengan Toppingnya.




SUMBER :
 http://www.anekapuding.com/2012/04/resep-puding-tiramisu.html

Selasa, 05 Juni 2012

CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN


CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN

Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut :

1.    Pembayaran
2.    Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan
3.    Pembaharuan hutang
4.    Perjumpaan hutang atau kompensasi
5.    Percampuran hutang
6.    Pembebasan Hutang
7.    Musnahnya barang yang terhutang
8.    Kebatalan/pembatalan
9.    Berlakunya suatu syarat batal dan
10. Lewatnya waktu

Cara-cara hapusnya perikatan itu akan dibicarakan satu persatu di bawah ini.

1.    PEMBAYARAN

Nama”pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal 1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.

Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juag kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh Undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang adalah sah, sekedar si berpiutang telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat manfaat karenanya.

Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagian,meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.

Mengenai tempatnya pembayaran, pasal 1933 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menerangkan sebagai berikut :

“Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian,jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat,maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu,harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.
Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang,selama orang itu terus menerus berdiam dalam keresidenan di mana ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian, dan di dalam hal-hal lainnya di tempat tinggalnya si berhutang”.

Ketentuan dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat di mana barang berada sewaktu perjanjian ditutup adalah, sama dengan ketentuan dalam pasal 1477 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam jual beli , dimana juga tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat dimana barang yang dijual harus diserahkan. Memang sebagai mana sudah diterangkan “pembayaran” dalam arti yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri atas penyerahan barang yang telah diperjual belikan.

Ketentuan dalam ayat kedua, berlaku juga dalam pembayaran-pembayaran di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan, teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang yang berupa uang pada azasnya harus dibayar di tempat tinggal kreditur,dengan perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang yang menurut undang-undang harus dipungut di tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang wesel.

Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas maka oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur.

Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang(kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam subrogasi atau penggantian ini, seorang ketiga yang membayar suatu utang menggantikan kedudukan si kreditur ,terhadap si debitur. Subrogasi atau penggantian tersebut di atas dapat terjadi baik dengan perjanjian, baik demi undang-undang.

Dari apa yang telah dibicarakan di atas, dapat dilihat bahwa jika seorang membayar hutangnya orang lain, maka pada umumnya tidak terjadi subrogasi, artinya : pada umumnya orang yang membayar itu tidak menggantikan kreditur. Hanya apabila itu dijanjikan atau dalam hal-hal di mana itu ditentukan oleh undang-undang , maka barulah ada penggantian.






2.    PENAWARAN PEMBAYARAN TUNAI DIIKUTI PENYIMPANAN ATAU PENITIPAN

Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut: barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaries atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka notaries atau juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses verbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya maka hal itu akan dicatat oleh notaries atau juru sita di atas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang (debitur) di muka pengadilan negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. setelah penawaran disimpankan atau dititipkan kepada panitera pengadilan negeri dengan demikian hapuslah hutang piutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.

3.    PEMBAHARUAN HUTANG ATAU NOVASI   

Menurut pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :

a.    Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.

b.    Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.

c.    Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.

Novasi yang disebutkan pada (A) , dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (C) dinamakan novasi subyektif , karena yang diperbaharui di situ adalah subyekti-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif.


4.    PERJUMPAAN HUTANG ATAU KOMPENSASI

Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang piutang secara tertimbal balik antara kreditur dan debitur.
Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan,demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 Kitab undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar supaya dua hutang dapat diperjumpakan,maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.

Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang-pihutang antara kedua belah pihak itu telah dilahirkan, terkecuali :

a.    Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.

b.    Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.

c.    Terdapat sesuatu barang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas, maka itu akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Maka dari itu pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan itu.

5.    PERCAMPURANG HUTANG

Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang puiutang itu diapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul “demi-hukum” dalm arti otomatis.

Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung hutang(borg) tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.


6.    PEMBEBASAN HUTANG

Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi pretasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan-yaitu hubungan hutang-piutang hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.

Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara suka rela oleh si berpihutang kepada si berhutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan hutangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut berhutang secara tanggung menanggung. Pengembalian barang yang akan diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidaklah perlu diterangkan, sebab perjanjian gadai (pand) adalah suatu perjanjian accessoir yang artinya suatu buntut belaka dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam uang.

7.    MUSNAHNYA BARANG YANG TERHUTANG

Jika barang tertentu yang menjadi objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (terlambat),iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.

Apabila si berhutang , dengan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti di atas telah dibebaskan dari perikatannya terhadap krediturnya , maka ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.

8.    KEBATALAN/PEMBATALAN

Meskipun disini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ,ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dihapus.

Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanijan-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (Pasal 1320)

Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: pertama ,secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan sisitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.

9.    BERLAKUNYA SUATU SYARAT-BATAL

Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi,baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi tidak terjadinya peristiwa tersebut.

Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan denagn suatu syarat batal.

Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian,demikianlah pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan  apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.


10.  LEWATNYA WAKTU

Menurut pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu”ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (Atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”. Daluwarsa dari macam yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan di sini meskipun masalah daluwarasa itu suatu masalah yang memerlukan pembicaraan tersendiri. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masalah daluwarsa itu diatur dalam Buku IV bersama-sama dengans oal pembuktian.

Menurut pasal 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan , hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun,sedangkan siapa yang menunjukan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapat dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.

Dengan lewatnya waktu tersebut di atas hapuslah setiaap perikatan hukum dan tinggal pada suatu “perikatan bebas” (natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayarkan boleh tetapi tidak dapat dituntut di muka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut di muka pengadilan dapat memajukan tangkisan (eksepsi)tentang kadaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelakkan atau menangkis setiap tuntutan.



sumber:

 
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf



www.gunadarma.ac.id




















WANPRESTASI


 WANPRESTASI


Apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau “cidera janji”. Atau juga ia “melanggar perjanjian”, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa belanda , yang berarti prestasi yang buruk.

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :

a.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

b.    Melaksanakan apa yang dijanjikannya,tetapi tidak sebagaimana dijanjikan

c.    Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat

d.    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Terhadap kelalaian atau kealpaan si berhutang itu (atau pihak yang wajib melakukan sesuatu),diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.

Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi ada empat macam yaitu :

a.    Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.

b.    Pembatalan perjanjian atau juag dinamakan “pemecahan”perjanjian

c.    Peralihan risiko

d.    Membayar biaya perkara, kalu sampai diperkarakan di muka hakim

Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting , maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya,harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli , atau kapan si pembeli ini harus membayar uang harga barang tadi.

Mengenai perjanjian-perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam perjanjian tidak ditetapkan bahwa si berhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan,pelaksanaan prestasi harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian.

Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur agar jika ia tidak memenuhi teguran itu, dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yang berbunyi : “ si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Yang dimaksudkan dengan surat perintah itu ialah suatu peringatan resmi yaitu peringatan oleh seorang jurusita Pengadilan. Perkataan “akte sejenis itu” yang sebenarnya oleh Undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis, sekarang sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang juga boleh dilakukan secara lisan,asal cukup tegas menyatakan desakan si berpiutang supaya prestasi dilakukan denganseketika atau dalam waktu yang singkat. Hanya tentu saja sebaiknya dilakukan dengan tertulis, dan seyogyanya dengan surat tercata, agar nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berhutang.

Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diberlakukan sanksi-sanksi yaitu ganti-rugi,pembatalan perjanjian dan peralihan risiko.

Ganti-rugi sering diperinci dalam tiga unsur:
·         Biaya
·         Rugi
·         Dan bunga (dalam bahasa belanda”konsten,schaden en interessen”)

Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian si debitur. Dan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntunga(bahsa belanda”winstderving”), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

Code civil (dalam bahasa Perancis) memerinci ganti-rugi itu dalam dua unsur yaitu “dommages et interest” . “Dommages” meliputi apa yang kita namakan “biaya dan rugi” sebagaimana dibicarakan di atas, sedangkan “interest” adalah sama dengan “bunga” dalam arti kehilangan keuntungan.

Dalam soal penuntutan ganti-rugi oleh Undang-Undang diberikan ketentuan-ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti-rugi tersebut. Boleh dikatakan, ketentuan tersebut merupakan pemabatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti-rugi. Dengan demikian seorang debitur yang alapa atau lalai,masih juga diperlindungi oleh Undang-undang terhadap kesewenangan si kreditur.
Pasal 1247 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menetukan : “ Siberhutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nayat telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu-daya yang dilakukan olehnya”.

Pasal 1248 juga menyebutkan : “ Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu diesebabkan karena tipu-daya si berhutang, penggantian biaya, rugi dan bunga,sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya,hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari terpenuhinya perjanjian”.

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti-rugi trdapat dalam peraturan mengenai”bunga moratoir”. Apabila prestasi itu berupa membayar sejumlah uang,maka kerugian yang diderita oleh kreditur , apabila pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau “bunga”. Perkataan “moratoir” berasal dari perkataan Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi, bunga moratoir berarti bunga yang ahrus dibayar (sebagai hukuman)karena debitur itu alapa atau lalai membayar hutangnya. Oleh suatu Undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1848 No.22 bunga tersebut ditetapkan 6(enam) prosen setahun, dan menurut pasal 1250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,selainnya bahwa bunga yang dapat dituntut itu tidak boleh melebihi prosenan yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, juga ditentukan bahawa bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya kepada Pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugat.

Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifatnya pembatalan atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman. Dikiranya si debitur malahan merasa lega dengan dibatalkannya perjanjian karena ia dibebaskan dari kewajibannya melakukan prestasi. Memang ada kalanya pembebasan itu dirasakan sebagai suatu pembebasan, tetapi betapa beratnya pembatalan itu dirasakan dapat dibayangkan jika kita memikirkan nasibnya seorang penjahit yang mendapat pesanan untuk membikin pakaian seragam batalyon prajurit,kalau kontraknya dibatalkan pada waktu ia sudah memotongi bahan pakaian berates-ratus meter.

Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah menerima sesuatu dari piahk lain, baik uang maupun barang,maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur ini,dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata menemukan pengaturannya dalam pasal 1266, ialah pasal yang terdapat dalam bagian kelima dari bab I dati Buku III, ialah suatu bagian yang mengatur tentang “perikatan bersyarat”.

Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu “syarat batal”. Dalam pasal1266 juga terdapat lanjutan sebagai berikut : “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Dalam halnya perjanjian dibatalkan, maka kedua belah pihak dibawa dalam keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut samapai pada detik dilahirkannya perjanjian. Apa yang sudah terlanjur diterima oleh satu pihak harus dikembalikan kepada pihak lainnya.

Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 ayat 2 Kitab Udnag-undang Hukum Perdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian.

Menurut pasal 1460 Kitab Undang-undang Hukum Perdata , maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat meneyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dan si pembeli kepada penjahat.

Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (pasal 181 ayat 1 H.I.R). seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di muka Hukum.

Menurut pasal 1267,pihak kreditur dapat menuntut terhadap si debitur yang lalai itu : pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian baiya, rugi dan bunga (disingkat “ganti-rugi”). Dengan sendirinya ia juag dapat menentukan pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi.

Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut :

1.    Pemenuhan perjanjian
2.    Pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi
3.    Ganti-rugi saja
4.    Pembatalan perjanjian
5.    Pembatalan disertai ganti-rugi


 sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf


www.gunadarma.ac.id